Logo

Seminar PEI dan UKPHT: What is Ethno-Entomology

What is Ethno-entomology?

Unit Kajian Pengendalian Hama Terpadu (Dept. Proteksi Tanaman IPB) bekerja sama dengan Perhimpunan Entomologi Indonesia (PEI) mengadakan seminar dengan judul “What is Ethno-entomology?” pada hari Jum’at, 31 Maret 2017. Seminar ini menghadirkan narasumber dari Museum National d’Histoire Naturelle (Prancis), Dr. Nikolas Cesard.

Kajian mengenai Etno-entomology sendiri merupakan suatu perspektif baru dalam dunia ilmu pengetahuan khususnya di Indonesia. Kajian ini lebih mengedepankan ilmu sosial –antropologi dalam pendekatannya. Etno-entomologi merupakan ilmu yang mempelajari hubungan antara manusia dengan lingkungannya, dimana serangga merupakan bagian di dalamnya. Dalam kehidupan manusia, serangga berperan penting dalam kehidupan manusia. Melalui pendekatan etno-entomologi dipelajari secara luas mengenai bagaimana manusia berinteraksi, berpikir (the way of thinking), dan “mengolah” serangga dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam kesempatan ini, Dr. Nikolas menyampaikan beberapa kasus studi mengenai interaksi manusia serangga sebagai sumber obat, pangan, dan bagian dalam kebudayaan. Di beberapa negara termasuk Indonesia, serangga undur-undur (Neuroptera: Myrmeliontidae) digunakan sebagai obat yang dipercaya dapat menyembuhkan beberapa penyakit misalnya stroke, diabetes, asma, dan asam urat.

Masyarakat di Bali mengkonsumsi capung sehari-hari untuk menggantikan daging yang hanya dapat dimakan saat upacara hari besar keagamaan saja. Mereka mengambil capung muda/pradewasa (fase naiad) maupun capung dewasa untuk dikonsumsi.

Di Jepang, masyarkat di Nagano Prefecture, Jepang  memanen zazamushi atau lebih dikenal sebagai ulat air berkantung/caddisfly (Ordo Trichoptera) untuk dikonsumsi. Dalam proses pemanenan, masyarakat sejak lama telah mempelajari kebiasaan dan perilaku serangga tersebut sehingga mereka dapat memanen dalam jumlah banyak, misalnya musim dimana populasi serangga tersebut melimpah, habitat yang cocok sehingga ditemukan banyak serangga, serta modifikasi alat bantu untuk memanen. 

Kasus studi petani kroto di daerah Banten, mereka telah mengetahui bagaimana metode yang tepat untuk memanen kroto (telur, larva, dan pupa)  semut rangrang (Oecophylla smaragdina, Hymenoptera: Formicidae). Melalui proses pengamatan serta pengalaman turun-menurun dalam waktu yang sangat lama, mereka dapat menentukan siklus pengambilan kroto dalam suatu pohon atau sarang, sehingga dapat mempertahankan sarang tersebut dalam jangka waktu tertentu untuk pemanenan.

Proses pengamatan serta pengalaman inilah juga menjadi salah satu bagian yang mendasari dilakukannya penelitian terkait Ento-entomologi ini. Terakhir, Dr. Nikolas menutup presentasi dengan sebuah “pertunjukan” adu kumbang di Thailand. Masyarakat di Thailand, melakukan suatu setting agar “perkelahian” di antara kumbang dapat terjadi. Prinsipnya, mereka menciptakan suatu kondisi dimana kedua kumbang akan beradu karena memperebutkan sesuatu. Masyarakat di Thailand menyimpan kumbang betina di bawah log kayu tempat kedua jantan bertemu dan beradu. Secara alamiah, akibat feromon seks yang dikeluarkan kumbang betina, kedua kumbang jantan akan berkelahi untuk memperebutkan (kawin) dengan kumbang jantan.

*Apabila tertarik dengan publikasi maupun lingkup studi terkait, silahkan mengunjungi web pribadi Dr. Nikolas Cesard di: www.ncesard.fr