Logo

EKSPEDISI PADI NUSANTARA: Impor Benih Padi, Impor Benih Penyakit

Bogor, Villagerpost.com – Dalam sepuluh tahun belakangan ini, pemerintah getol melakukan impor benih padi sebar (benih padi yang siap tanam) dalam jumlah besar. Pada tahun 2007-2014 misalnya, pemerintah tercatat telah mengimpor sebanyak 3.888 ton benih sebar per tahun. Sementara itu, antara tahun 2015 – 2016, pemerintah mengimpor antara 1.000-1.500 ton benih tahun. Impor benih oleh pemerintah yang diniatkan untuk menggenjot produksi padi nasional dalam rangka mencapai swasembada pangan ini, ternyata malah menimbulkan dampak yang dapat mengganggu tujuan pemerintah itu sendiri.

Pasalnya, pada benih yang diimpor, ternyata terdapat pula benih penyakit yang termasuk bibit penyakit berbahaya. Kedua jenis penyakit itu adalah Aphelenchoides besseyi (penyakit pucuk putih) dan Burkholderia glumae (penyebab busuk bulir). Hal itu terungkap dalam ekspose hasil survei yang dilakukan Himpunan Mahasiswa Proteksi Tanaman (Himasita) Institut Pertanian Bogor yang bertajuk “Ekspedisi Padi Nusantara” yang dihelat di auditorium Fakultas Pertanian IPB, Bogor, Sabtu (15/4).

 

Ketua Himasita W.R Nanta mengatakan, program survei ‘Ekspedisi Padi Nusantara’ ini memiliki beberapa tujuan. Pertama, menggali data serangan Burkhoderia glumae dan Aphelenchoides besseyi pada tanaman padi. Kedua, mencatat status organisme pengganggu tanaman (OPT) padi dan hubungannya dengan faktor lingkungan dan praktik budidaya. Ketiga, mendapatkan data persepsi petani terhadap kebijakan dan program pertanian yang digulirkan pemerintah dalam rangka kedaulatan pangan,” ujarnya.

Mengapa padi? Nanta mengatakan: “Pertama, padi komoditas penting. Kedua, menyangkut hajat hidup orang banyak. Ketiga, volume produksi besar.”

Survei itu sendiri dilaksanakan pada 20 Januari 2017 hingga 14 Februari 2017. Survei dilaksanakan di 18 Provinsi, mencakup 62 Kabupaten dan dilakukan pada 206 titik. Kegiatan ini sendiri dilakukan dengan memanfaatkan waktu libur akademik dengan memberdayakan para mahasiswa Departemen Proteksi Tanaman IPB yang pulang ke daerah asalnya masing-masing untuk mengambil data.

Para mahasiswa mencatat data terkait serangan Burkhoderia glumae (BG) dan Aphelenchoides besseyi (AB) di wilayah masing-masing. Kemudian mencatat status OPT pdi dan hubungannya dengan faktor lingkungan dan praktik budidaya. Ketiga, mendapatkan data petani dan pertanian khususnya persepsi petani terhadap kebijakan dan program pertanian yang digulirkan pemerintah dalam rangka kedaulatan pangan.

Metode yang dilakukan adalah mendatangi tiga orang petani yang tanaman padi di sawahnya sudah bermalai. Kemudian, mengambil gambar gejala serangan penyakit BG dan AB untuk ditunjukkan kepada petani agar petani tahu gejala serangan kedua penyakit tersebut. Gambar diambil secara close up dan juga gambar hamparan. Bila ada sisa gabah panen musim lalu, akan diminta sebanyak 200 gram untuk dianalisis.

Contoh tanaman dalam lahan diambil sebanyak 3 malai bergejala dan 3 malai tak bergejala. Petani juga diwawancarai dengan pertanyaan seputar varietas yang ditanam, pupuk yang digunakan, OPT yang menyerang, cara pengendalian OPT. Koordinat sawah yang terkena gejala serangan AB dan BG juga dicatat. Petani juga ditanya soal persepsi pada keadaan pertanian terkait akses pada benih, subsidi, dan lain-lain. Dalam survei ini, terkait benih, diklasifikasikan ke dalam empat kategori yaitu benih bantuan pemerintah, benih hasil membeli di toko, benih dari penangkaran petani sendiri (asal benih bisa dari pemerintah atau membeli di toko dan diambil sebagian untuk benih musim tanam berikut), dan hasil pemuliaan petani sendiri.

Dari hasil survei diketahui, untuk gambaran umum petani, dari sisi usia, rata-rata berada di atas 40 tahun. Petak lahan sawah yang dimiliki petani sempit yaitu 3000 meter persegi. Petani juga memiliki banyak keluhan mengenai akses dan sarana pertanian. Pengetahuan petani mengenai emerging desease (penyakit baru) sangat kurang.

Untuk wilayah sebaran penyakit, Jawa Bagian Barat adalah wilayah yang paling banyak ditemukan gejala serangan BG, dari hasil pengamatan visual. Dari 44 titik yang diamati, 25 titik (56,8%) didapati ada gejala serangan BG. Sementara yang tidak teramati ada gejala BG di Jawa Bagian Barat sebanyak 19 titik (atau 43,2%).

Kedua adalah wilayah luar Jawa (Sumatera, Kalimantan, Bali, Sulawesi). Dari 57 titik yang diamati, 24 titik (42,1 persen) terdapat gejala serangan BG, sementara 33 titik (57,9%) tidak ditemukan gejala serangan BG. Berikutnya adalah Jawa Bagian Tengah. Dari 81 titik yang diamati, 32 titik (39,5%) terdapat gejala serangan BG, sementara 49 titik (60,5%) tidak ditemukan. Paling rendah adalah Jawa Timur, dari 24 titik yang diamati, 4 titik (16,7% ditemukan gejala BG, sementara 20 titik (80,3%) tidak ditemukan.

Dari hasil penelitan juga diketahui, ragam varietas padi yang terkena gejala serangan BG. Yang tertinggi adalah varietas Serang, Dari total 8 titik yang diamati, 5 titik (62,5%) wilayah yang menanam varietas ini ditemui ada gejala BG. Berikutnya adalah IR 64, dimana dari 35 titik yang diamati, sejumlah 16 titik (45,7%) wilayah yang menanam padi varietas ini terlihat gejala BG.

Berikutnya, varietas Ciherang, dimana dari 51 titik yang diamati, 19 titik (37,3%) wilayah yang menanam varietas ini ditemukan gejala serangan BG. Kemudian varietas Mekongga, dari 17 titik yang diamati, 6 titik (35,3 persen) wilayah yang menanam varietas ini ditemukan gejala serangan BG. Yang terendah adalah varietas Cisokan dimana dari 4 titik yang diamati, tidak ada satupun yang terkena gejala serangan BG.

Sementara itu, soal hubungan antara asal benih dengan ditemukannya gejala BG, dari hasil survei di seluruh titik diketahui, gejala penyakit BG paling tinggi ditemukan pada varietas yang didapatkan oleh kelompok tani dimana 3 titik yang diamati, 2 titik diantaranya mengandung gejala serangan BG. Berikutnya adalah pada benih yang berasal dari bantuan pemerintah. Dari 48 titik yang diamati, 22 titik yang menanam benih padi bantuan pemerintah (45,8%) ditemukan gejala serangan BG.

Berikutnya adalah pada benih yang berasal dari toko dimana dari 102 titik yang diamati, pada 42 titik yang menanam padi yang berasal dari membeli di toko (41,2%) mengalami gejala serangan BG. Yang terendah adalah pada padi hasil pembiakan petani sendiri dimana dari 52 titik, hanya 19 titik yang menanam padi hasil biakan sendiri (36,5%) yang ditemukan gejala serangan BG.

Sementara untuk gejala serangan AB, Jawa Bagian Barat juga menjadi wilayah yang paling banyak ditemukan gejala serangan AB. Dari 7 titik yang diamati, 5 titik diantaranya (71,4%) mengalami gejala serangan AB. Kedua diduduki Jawa Bagian Timur dimana dari 9 titik 6 titik (66,7%) mengalami gejala serangan AB. Berikutnya Jawa Bagian Tengah dari 18 titik yang diamati, 9 titik (50%) ditemukan gejala serangan AB, sama dengan Luar Jawa dimana dari 3 titik yang diamati, 3 diantaranya (50%) terdapat gejala serangan AB.

Dari sisi varietas, varietas Ciherang paling banyak ditemukan serangan AB, dari 14 titik yang diamati, 10 titik yang menanam varietas Ciherang (71,4%) mengalami gejala serangan AB. Berikutnya ditempati secara bersama oleh varietas IR 64, Serang dan Situ Bagendit dengan 50%. Untuk IR 64 dari 8 titik yang diamati, 4 titik menunjukkan gejala serangan AB. Yang terendah adalah Mekongga dimana dari 3 titik yang diamati, semua titik yang menanam varietas ini tidak ditemukan gejala serangan AB (0%).

Sementara itu, soal hubungan antara asal benih dengan ditemukannya gejala AB, dari hasil survei di seluruh titik diketahui, gejala penyakit AB paling tinggi ditemukan pada varietas yang didapatkan oleh kelompok tani dimana dari 1 titik yang diamati, ditemukan gejala serangan BG. Berikutnya adalah pada benih yang berasal dari pembiakan sendiri oleh petani, dimana dari 10 titik yang diamati, 6 titik yang menanam padi yang dibiakkan sendiri oleh petani (60%) ditemukan gejala serangan AB. Kemudian, dari benih yang berasal dari pemerintah dan membeli di toko dengan 53,8%. Titik yang diamati sama yaitu dari 13 titik yang diamati, 7 titik yang menanam padi yang berasal dari pemerintah dan membeli di toko ditemukan gejala serangan AB.

Terkait rekomendasi, untuk penyakit BG, ada beberapa rekomendasi yang bisa dilakukan. Pertama, perlakuan benih dengan cuka konsentrasi 2% mampu mengendalikan B. glumae tanpa mempengaruhi perkecambahan benih. Kedua, pemanasan kering pada suhu 55 derajat celcius mampu menurunkan daya bertahan B. glumae yang diaplikasikan beberapa jam. Ketiga, kombinasi perlakuan antara perlakuan panas kering 55 derajat celcius dan cuka 2% menunjukan penurunan signifikan terhadap pemulihan bakteri B. glumae tanpa menurunkan daya kecambah benih. Keempat, standar perlakuan air panas 55 derajat celcius mampu mengurangi tetapi tidak sepenuhnya menghilangkan bakteri B. glumae dalam arti lain benih masih mengandung B. glumae. Rekomendasi ini diambil dari Trijoko, yang dipaparkan dalam Simposium Kemunculan Penyakit Baru dan Impor Benih, Bogor 10 Januari 2017.

Untuk penyakit AB, rekomendasinya adalah: Pertama, tetap sebagai OPT Karantina pada negara produsen padi, karena ada peluang muncul ras-ras baru. Kedua, regulasi yaitu membatasi masuknya inokulum baru, eliminasi patogen pada media pembawa, eliminasi patogen pada daerah terinfestasi, pencegahan pemencaran ke wilayah yang masih bebas. Ketiga, merancang strategi pengendalian yang segera dapat diterapkan di tingkat petani, misalnya “perlakuan air panas (hot water treatment) benih padi”, varietas padi tahan dan toleran, teknik pengendalian di pembibitan/lapangan dan lain lain. Rekomendasi ini disampaikan Supramana, pada Simposium Kemunculan Penyakit Baru dan Impor Benih, Bogor 10 Januari 2017.

Sumber: Villagerspost.com