Logo

Daftar Berita

GUEST LECTURE 16: Mengenal Lalat Hitam (BSF) yang Berguna dan Berjasa

Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, IPB University hadirkan CEO PT Biomagg Sinergi Internasional dalam Guest Lecture Series Ke-16 (24/5). Ia adalah Aminudi, CEO PT Biomagg Sinergi Internasional, sebuah perusahaan pengelola pupuk organik sampah perkotaan yang juga alumnus IPB University dari Departemen Proteksi Tanaman.

Bertemakan "Mengenal Lalat Hitam (Black Soldier Fly/BSF) yang Berguna dan Berjasa", Aminudi membawa peserta webinar menggali lebih dalam tentang Circular Food Economy dengan memanfaatkan BSF. Menurutnya, dengan membiarkan sampah organik, sampah-sampah tersebut akan menimbulkan efek buruk pada kota.

“Sampah organik proporsinya mencapai 60 persen dari total limbah sampah di Indonesia. Tanpa pengolahan yang lebih baik dan lebih efektif, sampah-sampah tersebut akan menimbulkan efek buruk pada kota,” ujarnya.  Ia menjelaskan, maggot (larva/belatung/maggot) BSF ini memiliki segudang keunggulan. Selain aman bagi manusia, maggot juga dapat memproses sampah organik dari berbagai tempat. Mulai dari petani, pasar induk, pasar tradisional, hotel, resto hingga rumah tangga.

Aminudi juga menambahkan bahwa dengan model pengolahan sampah organik ini, petani juga dapat memperoleh input pupuk dan pakan, sehingga integrasi antara kawasan desa dan kota akan terbentuk.  "Dari 60 persen sampah organik itu, lebih dari setengahnya adalah sampah-sampah makanan. Kalau dikelola dengan baik, marketnya besar,” katanya.

Ia menambahkan, dari satu gram telur BSF, bisa mengolah sampah organik 15-20 kilogram. Dari jumlah sampah yang diproses dapat dikonversi menjadi 74 persen berupa penguraian sampah, 15 sampai 20 persen berupa magot, 10 persen pupuk dan 1 persen residu.

“Metode pengolahan sampah menggunakan BSF dapat dilakukan di rumah. Alat-alatnya sederhana, seperti ember bekas dan kandang lalat juga bisa digunakan,” tambahnya.    Adapun bahan organik yang bisa diolah maggot, menurut Aminudi adalah sayuran, buah, sampah makanan dapur (catering, hotel), limbah perikanan dan limbah Rumah Potong Hewan (RPH), limbah kotoran hewan (ayam petelur, babi, dan puyuh), limbah agroindustri, produk-produk consumer good (kecap, mi instan).

Ia menyarankan bahwa limbah kotoran ayam broiler tidak efektif digunakan untuk diolah oleh maggot karena limbah kotoran mengandung sekam. “Informasi lebih lanjut tentang cara pengolahan sampah organik dengan BSF dapat dilihat di akun sosial media Magobox. Melalui pengelolaan sampah organik dengan BSF, saya percaya Indonesia bisa menciptakan sumber pangan yang berkelanjutan dan pemberdayaan masyarakat serta lingkungan,” imbuhnya. (Kumparan.com)

Materi Guest Lecture 16

====================

Panitia Guest Lecture

Departemen Proteksi Tanaman

Fakultas Pertanian - IPB University

 

website ptn.ipb.ac.id

email protanipb@apps.ipb.ac.id

twitter @PTN_IPB

instagram @ptn_ipb

Guru Besar IPB: Riset Aksi Holosentrik Solusi untuk Pembangunan Pertanian Indonesia (Republika.co.id)

REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR — Riset aksi holosentrik sangat mendorong lahirnya kerja sama pemerintah, peneliti dan petani dalam kerangka kerja kolaboratif dengan berorientasi pada pemecahan masalah-masalah pertanian di lapangan.

Institut Pertanian Bogor (IPB) diharapkan bisa menjadi institusi pendidikan yang mendorong riset aksi holosentrik ini sebagai solusi dalam memecahkan kebuntuan sektoralisme pada program pembangunan pertanian di Indonesia yang selama ini masih menggunakan pendekatan teknosentrik.

Hal ini disampaikan oleh Profesor Hermanu Triwidodo dalam orasi ilmiah berjudul Riset Aksi Holosentrik untuk Mengatasi Ledakan Hama pada penetapan guru besar IPB yang dibacakannya pada konferensi pers di Bogor, Kamis(19/05/2022).

“Riset aksi holosentrik ini bisa menjadi inovasi pendekatan dalam mengatasi kasus-kasus ledakan hama yang terjadi di berbagai tempat di Indonesia. Riset aksi holosentrik bisa menjadi prototype riset untuk mendukung pembangunan pertanian berkelanjutan di Indonesia,” kata Hermanu.

Sebagai peneliti yang bergelut secara langsung di lapangan bersama petani selama lebih dari tiga dekade, Hermanu melihat pendekatan teknosentrik masih menjadi pendekatan utama dalam melihat permasalahan pertanian.

Ia mengatakan teknosentrik merupakan pendekatan yang digunakan dan menjadi dasar dari revolusi hijau. Implementasi pendekatan ini, kata dia, dilakukan dengan menerapkan paket teknologi yang dikembangkan oleh pusat kepakaran dengan cara pikir linier.

Di sini, petani, kata Hermanu, hanya ditempatkan sebagai pengguna dari teknologi yang diproduksi oleh pusat kepakaran (center of excellence). Dalam hal ini, lanjutnya, permasalahan di lapangan didokumentasikan, dibawa dan diteliti hingga mendapatkan kesimpulan dan teknologi yang siap untuk diterapkan oleh para petani.

“Pada pendekatan ini penggunaan pestisida dan bahan-bahan kimiawi sintitek menjadi satu hal penting. Pendekatan ini secara nyata memiliki kelemahan dan memunculkan situasi gagal dengan terjadinya ledakan hama wereng coklat dan penggerek batang putih,” tutur pria kelahiran Tulungagung, 65 tahun silam ini.

Dalam penerapan riset aksi Holosentrik, Hermanu menjelaskan peneliti tidak lagi mengambil jarak dengan petani, melainkan bersama petani untuk melakukan kajian. Di sinilah, kata dia, membuka ruang dan kesempatan kepada semua pihak untuk berkontribusi dalam upaya penyelesaian masalah secara konstruktif.

“Riset aksi Holosentrik dalam pengelolaan hama memungkinkan peneliti dan petani menciptakan inovasi baru dari proses belajar bersama. Hal ini berbeda dengan pendekatan teknosentrik yang menempatkan petani sebagai pengguna dari teknologi yang dirancang oleh sumber pakar. Di sini, kontribusi peneliti dalam pendekatan holosentrik adalah keterlibatan secara kolaboratif untuk menghasilkan solusi secara langsung tanpa menunggu publikasi ilmiah,” ujarnya.

Hermanu juga menjelaskan salah satu implementasi dan instrumen dari pendekatan riset aksi holosentrik ini adalah laboratorium lapang. Laboratorium lapang ini, kata dia, menjadi media tumbuh dan berkembang terhadap proses pembelajaran manusia dengan rasionalitas komunikatif.

 

“Pada laboratorium lapang ini terlihat bahwa komunikasi menjadi lebih efektif. Antara peneliti dan petani tidak ada lagi jarak sebagaimana pada model teknosentrik,” ujarnya.

Dalam penelitian yang dikembangkannya, Hermanu melihat hamparan sawah tidak hanya dipandang secara fisik tetapi juga soft side of land. Ia melihat adanya potensi tersembunyi dari pengalaman dan kearifan petani, keanekaragaman biologi dengan berbagai tingkatan dan fungsinya.

“Selama saya melakukan penelitian ini, interaksi unsur-unsur sistem lingkungan dan sistem sosial dengan nyata mempengaruhi dan menentukan hasil panen, bahkan interaksi berbagai pemangku kepentingan ini juga menentukan."

"Hal ini ditunjukkan dalam pendayagunaan musuh alami, lampu perangkap hama, pengumpulan kelompok telur yang melibatkan aparat desa hingga anak-anak sekolah yang menekan serangan penggerek padi,” jelas ayah dua anak ini.

Laboratorium lapangan yang didirikan di Desa Panyingkiran, Kabupaten Karawang, menjadi salah satu penanda penelitian dengan pendekatan holosentrik yang telah dilakukan oleh Hermanu bersama para peneliti lainnya.

Selain itu, Safari Gotong Royong yang pernah dilakukan pada tahun 2007 dengan menjangkau 24 kabupaten di Pulau Jawa menjadi wujud nyata dari pengembangan melalui pendekatan riset aksi holosentrik ini.

“Kegiatan Safari Gotong Royong ini menjadi bentuk lain dari laboratorium lapangan. Semangat yang dibangun dalam safari gotong royong adalah mengajak bersama-sama mengembangkan pertanian rasional, memadukan pengalaman petani dengan pengetahuan peneliti dan mendapatkan dukungan dari pemerintah dalam penerapannya,” kata Hermanu.

Hermanu juga menyarankan agar IPB bisa menjadi pioner untuk mengkolaborasikan riset aksi holosentrik ini dengan sistem insentif yang setara dengan dua dharma perguruan tinggi lainnya, yakni pendidikan dan penelitian.

Selama ini, kata dia, IPB sudah merintis berbagai program dan kegiatan seperti Dosen Mengabdi, Dosen Pulang Kampung, IPB Quick Respons, sayangnya sistem insentif yang kaitannya dengan BKD dan SIJ serta syarat kenaikan pangkat masih belum tertata dengan baik.

“Terkadang juga prasyarat penerima hibah dana kegiatan tersebut kurang pas dan kontra produktif. Misalnya jangan sampai apa persyaratan untuk mendapatkan dana dosen pulang kampung adalah harus menghasilkan publikasi bertaraf internasional."

"Di sinilah IPB bisa menginisiasinya untuk menjadi lebih baik dan utamanya bagaimana ilmu pengetahuan itu bisa benar-benar kembali dan memberikan solusi buat pertanian menjadikan petani Indonesia merdeka” kata Hermanu. (Red: Muhammad Akbar – Republika.co.id)

Nadzirum Mubin, Dosen Muda IPB Paparkan Upaya Pelestarian Serangga – IPB News

Nadzirum Mubin, SP, MSi, dosen muda IPB University dari Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian berbagi informasi tentang upaya pelestarian serangga khususnya untuk bidang ethno-entomologi yang diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Biologi, Universitas Padjajaran.  Dalam paparannya, Nadzir menjelaskan bahwa ethno-entomologi merupakan ilmu yang mempelajari hubungan antara manusia dengan serangga. Ia menyebut, banyak serangga yang sudah menjadi bagian dari kehidupan bermasyarakat. 

Ia mencontohkan, undur-undur (Neuroptera: Myrmeleontidae) merupakan predator, tetapi secara tradisional, undur-undur ini dimanfaatkan masyarakat untuk mengobati berbagai jenis penyakit. Undur-undur sering dikonsumsi sebagai obat diabetes, darah tinggi, dan gatal-gatal.  “Tidak hanya terbatas dimanfaatkan secara tradisional, sudah banyak publikasi yang mengonfirmasi bahwa undur-undur ini memiliki zat tertentu sehingga dapat dimanfaatkan untuk pengobatan,” kata Nadzirum Mubin. 

Ia melanjutkan, pengetahuan tradisional (traditional knowledge) lainnya juga banyak menyebutkan bahwa serangga dapat dimanfaatkan sebagai sumber makanan. Hal ini karena serangga mengandung protein yang sangat tinggi. Beberapa serangga yang dikonsumsi karena kandungan protein yang tinggi yaitu seperti ulat sagu, tepung jangkrik, botok tawon, peyek laron maupun belalang.  “Pengetahuan tradisional menjadi kunci dari pelestarian serangga tersebut sehingga serangga-serangga yang dimanfaatkan tidak tereksploitasi terlalu besar,” tambahnya.  

Meskipun secara tradisional serangga-serangga tersebut memberikan manfaat yang luar biasa, terdapat banyak ancaman dalam upaya pelestariannya. Nadzir menyebut, perubahan iklim, kehilangan habitat karena alih fungsi lahan, peningkatan produktivitas pertanian dengan penggunaan pestisida yang tidak bijaksana serta perdagangan bebas serangga dapat menghambat pelestarian serangga.

Dari ancaman-ancaman yang ada, katanya, dapat dicarikan solusinya masing-masing. Ia menyebut, hal yang paling banyak digunakan sekarang adalah adanya pengenalan serangga-serangga ke anak usia dini. Pengenalan serangga sedari dini memberikan kesempatan anak tersebut mengenal dan menyukai serangga sejak kecil.   “Mengenalkan serangga dengan berlibur ke tempat wisata. Wisata edukasi memperkenalkan kupu-kupu, lebah, dan serangga lainnya ke anak kecil menjadikan memori si anak dapat dikenang hingga dewasa nanti,” katanya. 

Selain itu, lanjutnya, pelestarian serangga juga dapat dilakukan dengan pertunjukan budaya atau seni. Seni wayang yang umumnya dikatakan kuno, diganti menjadi pertunjukan wayang serangga. “Dengan tetap memegang kesenian wayang, cerita dan wayangnya diganti topiknya dengan serangga. Sehingga serangga yang memberikan manfaat yang luar biasa dapat dikenal melalui media seni seperti wayang ini,” tutur Nadzir. (IPB News)

Ahli Entomologi IPB University Bicara Pengelolaan Ekosistem sebagai Kunci Pengendalian Hama Penyakit pada Singkong – IPB News

Singkong menjadi salah satu bahan pangan favorit bagi masyarakat Indonesia. Selain dikenal mudah diolah, cara tanamnya dinilai tidak terlalu sulit.  Tanaman singkong sebenarnya merupakan tanaman asli Amerika yang didatangkan oleh pedagang Portugis dan Spanyol ke Afrika dan Asia. Singkong tahan kekeringan namun tidak tahan genangan. Singkong juga tahan hidup di berbagai kondisi tanah masam dan miskin hara, namun kurang tahan salinitas.

Ahli Entomologi Departemen Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian IPB University, Bonjok Istiaji MSi, menyebutkan kekurangan lahan menyebabkan singkong semakin susah bersaing dengan komoditas lain. Petani singkong juga sering menganggap bahwa singkong merupakan tanaman yang mudah ditanam dan bebas dari hama penyakit.

“Padahal, tanaman singkong yang sehat diperoleh karena perlakuan yang sesuai. Seharusnya petani juga memiliki cara pandang bahwa singkong juga harus memiliki produktivitas tinggi seperti komoditas unggulan lainnya,” ujarnya dalam Webinar Propaktani berjudul “Waspada Penyakit dan Hama Singkong” yang digelar oleh Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian RI, (18/5).

Menurutnya, pada umumnya hama penyakit pada singkong di Indonesia tidak terlalu parah. Hama penyakit jarang terjadi pada tanaman rakyat ini. Namun bisa menjadi ancaman serius pada pertanaman skala luas dan intensif. Singkong bisa mengalami gejala umbi, daun layu disebabkan oleh cendawan, hingga virus.

“Gairah menanam singkong harus diiringi dengan teknologi pertanian yang lebih serius sehingga dapat menjadi antisipasi awal serangan hama dan penyakit. Petani harus mulai menerapkan rekayasa ekologi dan engineering yang baik,” terangnya.  Ia menjelaskan, kesehatan tanaman singkong tergantung pada kondisi lahan dimana ditanam. Tanah yang kurang sehat dapat memiliki risiko hama penyakit terbawa tanah. Terutama bila petani tidak melakukan seleksi bibit. Ditambah dengan adanya globalisasi dan semangat menanam singkong yang lebih tinggi, ancaman Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) baru akan mudah masuk.

“Kalau lingkungan dan tanamannya sehat, (serangan hama penyakit) itu tidak akan terjadi. Kuncinya pada pengelolaan ekosistem dengan rekayasa ekologi. Pengendalian hama itu seperti playmaker sepakbola. Paham kekuatan dan kelemahan tim sendiri, tahu siapa lawan yang dihadapi, dan selalu konsentrasi menanggapi situasi dengan cepat. Jangan menjadi penjaga gawang yang baru ketahuan pentingnya setelah kebobolan,” kata Bonjok. (IPB News - MW/Zul)