Logo

Daftar Berita

Workshop Manajemen Perubahan Peningkatan Kualitas Kerja Tenaga Kependidikan - PTN

Bogor, 14-15 Januari 2022. Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian – IPB University mengadakan kegiatan Workshop Manajemen Perubahan Peningkatan Kualitas Kerja Tenaga Kependidikan yang bertujuan untuk mengikat kembali keeratan dalam kerjasama antara tenaga pendidik (tendik) setelah dua tahun terakhir menajalani masa-masa kerja dari rumah (WFH), setelah masa pandemi berangsur membaik dan akan diadakannya kuliah tatap muka di IPB. Kegiatan ini berlansung selama dua hari satu malam bertempat di Villa Bukit Pinus, Pancawati – Bogor.

Kegiatan utama dari workshop ini adalah spritual capital training dengan trainer Boni Shallehuddin yang membawakan pelatihan tentang memberikan value terhadap diri sendiri, acara selanjutnya adalah malam keakraban dengan beberapa pentas dari kelompok yang sudah ditentukan sebelumnya, acara pamungkas sebagai pengikat keeratan kerjasama tendik yaitu outbond.

Dr. Swastiko Priyambodo Jelaskan Pengelolaan Hama Tikus pada Jagung

Dr Swastiko Priyambodo, pakar tikus dari IPB University memberikan langkah pengendalian hama tikus pada jagung. Ia menyebut, hanya sembilan jenis tikus yang menjadi hama di Indonesia.

“Tikus sawah merupakan hama penting menyerang komoditas jagung setelah panen padi. Sedangkan tikus pohon umumnya menyerang sawit ditemukan di pemukiman sub pertanian. Terutama di sawah dan perkebunan yang berbatasan dengan pemukiman,” kata Dr Wastiko.

Untuk mengendalikan tikus, dosen IPB University itu mengatakan, petani dan pemerintah perlu memahami kelebihan dan kekurangan tikus agar dapat mengatur strategi pengendalian hama ini. Ia mencontohkan, perlu dilakukan pre-baiting pada racun akut dengan aplikasi zinc fosfit pada tanaman pangan. Sedangkan, untuk racun bersifat kronis tidak perlu pre-baiting.

“Kelemahan tikus itu neo phobia atau takut pada benda baru. Jadi perlu penggunaan jera umpan, jera racun, dan jera perangkap,” tambah Dr Swastiko Priyambodo, dosen IPB University dari Departemen Proteksi Tanaman.

Ia juga menyebut, pengetahuan biologis tikus juga patut untuk diketahu. Ia menjelaskan, tikus sawah umumnya matang seksual hanya dalam dua bulan. Tidak hanya itu, tikus juga memiliki kejadian post partum estrus atau pasca melahirkan dua hari sudah bisa birahi. Hal ini tidak didapatkan oleh mamalia lain sehingga potensi reproduksi tikus sangat melimpah dan dapat melahirkan sepanjang tahun.

“Dalam strategi pengelolaan tikus, penting untuk memahami biologi dan perilaku tikus  karena spesies ini paling dapat bertahan hidup. Hal ini dibutuhkan untuk monitoring early warning system,” jelasnya dalam Webinar dan Bimtek Propaktani yang digelar oleh Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian RI, (07/12).

Dalam kesempatan ini, Dr Swastiko juga menjelaskan bahwa resistensi tikus terhadap rodentisida juga semakin tinggi. Hal ini karena intensitas penggunaan racun di pemukiman sangat tinggi.

Dosen IPB University itu mengatakan, ada beberapa cara yang dapat dilakukan dalam pengelolaan tikus.  Cara tersebut antara lain adalah sanitasi lingkungan. Sanitasi lingkungan ini dapat dilakukan di beberapa wilayah yang terdapat sarang tikus. Petani harus mengupayakan agar tikus-tikus di sarang merasa tidak nyaman.

Manajemen tikus lainnya yakni dengan cara kultur teknis seperti rotasi tanaman. Namun demikian, pada beberapa spesies sulit untuk dilakukan rotasi tanaman. Seperti tanaman jagung masih bisa diserang kembali oleh hama tikus. Sistem jajar legowo bagi padi relatif berhasil namun bagi jagung masih dipertanyakan.

“Aplikasi internet of things juga dapat dikembangkan. Aplikasi ini mampu mendeteksi jebakan yang berhasil menangkap tikus berdasarkan gerakan tikus. Namun biaya harus diperhitungkan. Jebakan yang dibuat dapat bersifat repelen, melindungi, mematikan,” katanya.

Adapun manajemen tikus dengan cara biologi dan hayati, dapat memanfaatkan predator seperti burung hantu. Namun demikian, populasi predator di sawah cenderung turun karena diganggu oleh manusia untuk dibunuh atau diperjual belikan.

“Sedangkan manajemen tikus secara kimiawi harus lebih bijaksana dalam penggunaannya. Cara fumigasi setelah panen padi dinilai cukup efektif. Penggunaan atraktan dan repelen bisa diterapkan namun masih terkendala dalam proses ekstraksi. Aplikasi kemosterilan untuk memandulkan tikus juga terus dikembangkan,” pungkas Dr Swastiko. (MW – IPB News)

#DokterTanamanIPB # WebinarPropaktani #HamaTikusJagung #PTNkeren #IPBuniversity

Dr. Suryo Wiyono Bagikan Strategi Pengendalian Penyakit Potensial pada Padi

Tanaman padi masih rentan terhadap berbagai penyakit. Seiring dengan kompleksnya dampak perubahan iklim, petani harus pandai berstrategi dalam pengendalian penyakit potensial.

Dr Suryo Wiyono, dosen IPB University dari Fakultas Pertanian menyampaikan bahwa penyakit potensial pada tanaman padi harus segera diantisipasi. Hal ini berkaitan dengan kemunculan penyakit blast pada tahun 90-an.

Menurutnya, kecenderungan data lima tahun berdasarkan Pusat Data dan Informasi Kementerian Pertanian (Pusdatin Kementan), penyakit blast pada padi rata-rata kian meningkat walaupun akhir-akhir ini menurun. Sehingga update pengetahuan sangat penting karena strategi pengendalian yang lama tidak akan mampu mengatasi masalah penyakit yang kian berubah.

“Meningkatnya potensi penyakit tanaman baru ini disebabkan oleh beberapa faktor. Di antaranya karena masuknya patogen ke Indonesia akibat perdagangan internasional. Belum lagi adanya perubahan genetik pada pathogen dan tanaman inang,” ujarnya dalam Webinar dan Bimtek Propaktani berjudul “Kemunculan Penyakit Potensial pada Budidaya Tanaman Pajale” yang diadakan oleh Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian, Senin (06/12).

Ia menambahkan, perubahan teknik budidaya dalam 40 tahun terakhir juga mempengaruhi ketahanan tanaman. Baik dari penggunaan varietas tanaman, penggunaan pestisida hingga pupuk frekuensi tanam. Perubahan iklim yang semakin tidak menentu juga menjadi faktor penyebab perubahan status penyakit tumbuhan.

“Diprediksikan, penyakit tanaman padi yang akan meningkat di antaranya busuk bulir bakteri, busuk pelepah dan bercak coklat sempit. Peningkatan penyakit tersebut disinyalir akan terjadi terutama di musim penghujan,” imbuhnya.

Menurutnya, penyakit ini sangat mengkhawatirkan. Bila terjadi endemi, petani dapat kehilangan hasil panen yang tinggi terutama pada fase reproduktif patogen. Penyakit tersebut juga turut mempengaruhi turunnya rendemen padi.

Ia turut menyampaikan strategi pengendalian penyakit tanaman jangka menengah. Di antaranya dengan mengurangi tekanan seleksi dengan menggunakan teknologi budidaya ekologis. Disarankan juga untuk melakukan pemantauan luas serangan dan keparahan.

“Análisis data yang dilakukan harus mencermati defiasi atau gejala tidak umum. Strategi lainnya yakni dengan pemantauan variasi genetik fitopatogen penting dan zeroing importasi benih,” tambahnya.

Bentuk jangka pendeknya, lanjutnya, yakni dengan optimalisasi pemupukan. Serta meningkatkan ketahanan ekosistem tanaman. Imunisasi tanaman ditingkatkan dengan menggunakan mikroorganisme pemicu imun atau dengan bahan organik seperti jerami padi dan pupuk kandang.

“Yang perlu ditekankan adalah pentingnya minimalisasi penggunaan pestisida. Berdasarkan sejarah, penggunaan pestisida yang semakin intensif malah menurunkan ketahanan padi terutama pada penyakit blast,” sebutnya.

Menurutnya, penggunaan bahan organik seperti jerami dinilai dapat mengurangi penggunaan pupuk sintentik hingga 50 persen. Teknologi penggunaan jerami ini merupakan antisipasi kekurangan pupuk namun masih menghasilkan produktivitas padi yang tinggi. Ketahanan tanaman juga masih sangat dipengaruhi juga oleh penggunaan herbisida. (MW/Zul – IPB News)

#DokterTanamanIPB # WebinarPropaktani #PenyakitPadi #PTNkeren #IPBuniversity

Prof. Dadang: Pestisida Nabati dan Biologi Dapat Menjadi Alternatif Pengendali Hama yang Ramah Lingkungan

Penggunaan pesitisida kerap diaplikasikan tidak hanya di industri pertanian, namun juga rumah tangga. Namun kebanyakan masyarakat masih tergantung pada pestisida sintetik. Padahal, banyak alternatif pestisida yang ramah lingkungan dan relatif aman.

Prof Dadang Hermana, Guru Besar IPB University dari Departemen Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian menjelaskan aplikasi pestisida biologi dan nabati yang tepat, efektif, dan efisien. Ia mengatakan masyarakat tidak boleh salah persepsi, pestisida biologi dan nabati sebenarnya sangat berbeda. Karena kebanyakan kedua pestisida ini disalahartikan.

“Pestisida biologi melibatkan penggunaan mikroorganisme secara utuh. Baik bakteri, cendawan, nematoda, dan mikroorganisme lainnya. Di lain sisi, pestisida nabati menggunakan ekstrak tumbuhan atau senyawa kimia dalam tumbuhan sebagai bahan aktif,” jelasnya dalam Webinar Propaktani “Penggunaan Pestisida yang Tepat untuk pengendalian OPT Tanaman Pangan” yang diselenggarakan oleh Kementerian Pertanian RI, (02/12).

Ia melanjutkan bahwa proses ekstraksi senyawa kimia dari tanaman sangat tergantung pada bahan yang digunakan. Karena tidak semua senyawa kimia tumbuhan larut dalam air atau etanol. Hal ini berkaitan erat dengan pelarut yang digunakan.

Menurutnya, pestisida nabati memberikan aktivitas biologi yang bukan hanya mematikan hama. Pestisida ini juga bisa menekan produksi telur hama dan mengganggu pergantian kulit. Namun keinginan masyarakat pada umumnya ingin membasmi hama secara menyeluruh. Padahal dalam beberapa waktu kemudian, penggunaan pestisida nabati juga akan menurunkan jumlah hama secara bertahap.

Ia menambahkan, hal terpenting dalam proses ekstraksi tumbuhan adalah efisiensi. Ekstraksi bahan tanaman dianjurkan tidak berlebihan dan melebihi kebutuhan. Penggunaan ekstrak tanaman yang berlebih akan menimbulkan kemungkinan keracunan pada tanaman atau fitotoksik.

“Penggunaan ini merupakan peluang kita untuk menggunakan pestisida nabati ini, pertama karena adanya efek samping penggunaan insektisida sintetik,” ungkapnya.

Menurutnya, penggunaan pestisida nabati merupakan solusi alternatif insektisida yang lebih ramah lingkungan. Tindakan ini sebagai implementasi teknologi PHT (Pengendalian Hama Terpadu) yang lebih berwawasan lingkungan. Lebih lagi karena adanya permintaan pasar terhadap produk organik dan isu-isu internasional yang berkaitan dengan residu pestisida.

“Misalnya bila penggunaan pestisida sintetik dua minggu sebelum panen dihentikan, pertanyaannya apakah akan aman bila dua minggu dibiarkan. Tentunya pengendalian ini dapat kita tukar dengan penggunaan pestisida nabati yang lebih mudah terdegradasi sehingga ketika diekspor residunya akan rendah,” kata Prof Dadang.

Ia menambahkan, banyak peluang yang dapat digali dari penggunaan pestisida ini. Proses eksplorasi bahan tanaman dapat memanfaatkan berbagai tanaman lokal dan tanaman yang dikenal berkhasiat sebagai obat. Aspek ekologi juga dapat dijadikan dasar dalam ekplorasi bahan tanaman. Formulasi pestisida ini harus diperhatikan dengan baik agar dapat memastikan kemudahan aplikasi dan keamanan produknya.

Sedangkan jenis pestisida biologi, imbuhnya, bekerja secara spesifik dan cara kerjanya bergantung pada jenis mikroogranismenya. Umumnya membutuhkan waktu lebih lama untuk mematikan inang. Walaupun demikian, pestisida ini relatif ramah lingkungan, efisien dan dapat bersinergi dengan strategi PHT lainnya.

“Bila ingin membuat (pestisida biologi) buatlah Stándar Operasional Prosedur (SOP) yang benar karena nanti akan berhubungan dengan konsistensi produk. Jadi formulasinya baik, efikasinya baik, dan keamanannya baik,” ujarnya terkait mutu pestisida di pasaran yang kerap berubah. (MW/Zul – IPB News).

#DokterTanamanIPB # WebinarPropaktani #PestisidaNabati #PTNkeren #IPBuniversity